image

Februari yang Teringkari

Cerpen oleh Roswita Rambu Lodang

total view 61
2025-02-15 14:49

Seorang perempuan paruh baya terbangun karena suara ayam jantan berkokok sahut-menyahut. Begitu membuka mata, dia membuat tanda salib dengan tangannya dari kening ke dada dan ke kedua bahunya. Ia duduk di pinggir dipan, mengatupkan kedua tangannya, memejamkan mata, dan bibirnya komat-kamit. Diamini doanya dengan tanda salib sekali lagi.

Di samping dipannya ada dua bingkai kecil berisi gambar dirinya dan seorang lelaki yang mirip dengan gambar seorang lelaki remaja pada bingkai yang lainnya. Diambilnya bingkai berisi gambar lelaki remaja itu. Hanya dialah yang dimiliki perempuan tua itu setelah suaminya berpulang ke Penciptanya dua belas tahun yang lalu karena kangker paru-paru. Serupa benar wajah dua orang yang dikasihinya itu.

Prima, si lelaki remaja itulah pelipur lara bagi Fransiska, perempuan paruh baya, guru Sastra Indonesia pada sebuah Sekolah Menengah Atas di kota itu. Sudah tujuh tahun Prima merantau untuk menempuh pendidikan tingginya. Belum sekalipun pulang. Semakin tua usia dan kesendirian yang menderanya membuat rindunya menggunung. Doa bagi kesehatan, kesuksesan dan keselamatan anak sematawayangnya menjadi hal wajib setiap ia membuat tanda salib pada tubuhnya.

***

Semester ini, semester ke dua belas untuk Prima. Sudah dua tahun skripsinya diabaikan. Sakit yang mendera, mematikan semangatnya. Suara mamanya di seberang telepon menyakitkan perasaan. Perasaan menyesal, bersalah dan bingung membaur menjadi belati yang menggores. Prima sudah ingin pulang, namun buah tangan apa yang layak dia hadiahkan bagi mamanya? “Saya sudah ingin pulang saja, Kang. Tapi tidak mungkin saya hadiahkan batuk dan dada yang sakit ini untuk ibu saya. Saya harus sehat dulu, harus ujian skripsi dulu.” Itu curhatan Prima pada Kang Jek, pemilik angkringan andalannya.

Tuntutan penyelesaian skripsi tidak hanya datang dari Bapaknya, tetapi juga dari kekasihnya, Debra. Berulang kali Debra meminta Prima menyelesaikan skripsinya dan menghentikan kebiasaan merokoknya, namun selalu gagal walaupun ia mengancam mengakhiri hubungan mereka. Sekali peristiwa, Debra berhenti menghubungi Prima sebagai bentuk marahnya karena Prima tidak dapat meninggalkan rokok dan kebiasaan bergadangnya. Karena takut kehilangan, Prima berhenti merokok dan berharap Debra tidak marah. Namun ada syarat kedua yang harus dipenuhi Prima. Prima harus menyelesaikan skripinya. Syarat kedua diterima Prima asalkan Debra mau menemaninya selama dia menyelesaikan tugas akhir itu. Dengan segala keikhlasan dan cinta, Debra bersedia menemani kekasihnya.

Sakit di dada Prima menjadi-jadi. Terkadang, sakit itu berubah menjadi sesak yang seolah-olah ingin membunuhnya. Prima sudah biasa merasakannya. “ahhh nanti juga sembuh” begitu jawabannya setiap kali diajak ke rumah sakit oleh kekasih dan teman-temannya. Sakit itu sudah menjadi bagian dari dirinya sejak 2 tahun yang lalu. Semakin hari dadanya semakin sakit.

***

Dalam kesendirian, Fransiska merindukan putranya. Tujuh Tahun bukan waktu yang singkat. Rindu yang ditahannya sudah meluber. Ia merindukan dekapan Prima putranya. Ia ingin memastikan sudah setinggi apa laki-laki kecilnya itu. Apakah ia telah tinggi melebihi dirinya? Terkadang Fransiska menangis dalam diamnya. “Kapan kamu pulang, nak? Sudah sampai mana usahamu?” Pertanyaan itu mewakili rindunya. “Saya masih berjuang, Mama. Saya pasti pulang.” Jawaban itu belum mampu menghapus sedikitpun rindu yang menggunung di dada Fransiska. Fransiska ingin mendapat jawaban ‘saya akan segera pulang’ atau ‘ya saya pulang saat ini,’ rasanya hanya jawaban itu yang mungkin bisa sedikit meringankan rindunya.

“Jika memang usahamu terlalu berat, kamu pulang saja, Prim. Temani Mama. Terlalu lama Mama sendiri.” Fransiska akhirnya putus asa mengatasi rindunya.

“Sebentar lagi selesai, Ma. Saya sudah jalan sejauh ini, sayang kalau ditinggal.”

***

Dengan tertatih-tatih bersama sakit di dada yang menyiksanya, Prima menyelesaikan sedikit demi sedikit tugas akhirnya. Dia harus segera kembali untuk mendapati Mamanya. Tidak dapat dia pungkiri, rindunya begitu dalam. Sudah tujuh tahun dia tidak merasakan pelukan hangat, dan belaian hangat perempuan tua itu. Prima takut, jika dia tidak segera kembali dia akan mendulang penyesalan, entah penyesalan atas apa. Tujuh tahun itu waktu yang sangat lama. Rindu tidak saja menumpuk, tetapi sudah menggunung.

Dengan dorongan harapan Mamanya, Prima berusaha menyelesaikan tugas akhirnya. Terkadang sakit aneh di dada melumpuhkannya. Namun sakit itu hanya terasa sebentar kemudian biasa lagi. Skripsi dan sakitnya silih berganti bagai shift satpam di kampusnya. Selalu bertukar. Namun wanita mungil yang menemaninya tidak pernah bertukar. Mahasiswi pasca sarjana ini tidak lelah menguatkan Prima, menyiapkan makan, dan membenarkan tata bahasa penulisan skripsi. Debra tidak berhenti menemani Prima dalam pertukaran shift antara sakit dan perjuangannya menyelesaikan tuntutan skripsi.

Awal semester ke tiga belas sakit aneh di dada Prima berkurang. Wajah Prima tidak lagi sepucat dulu. Ia dapat melihat wajahnya setampan Bapaknya dan senyumnya semanis Mamanya. Rupa dua orang tercinta itu menyatu dalam rupanya. Perlahan rindu yang menusuk kalbunya membangkitkan semangat untuk segera pulang. Namun agar bisa segera pulang, dia hanya harus melunaskan tagihan kampus berupa skripsi. Dia harus sampai pada ruang ujian itu.

Di pertengahan semester, Prima diperbolehkan memasuki ruang sidang. Kemeja putih, dasi hitam dan celana hitam berbahan satin memancarkan ketampanannya. Dia tidak mempunyai alasan untuk gemetar menghadapi sidangnya. Skripsi sudah dia kuasai dengan baik. lagi pula Prima tidak sendiri dia ditemani kekasih dan sahabat-sahabatnya. Bermodal kekuatan-kekuatan itu Prima melangkah dengan pasti meninggalkan mereka yang besertanya untuk masuk pada suasana yang dia perjuangkan. Sidang kripsi.

Setelah hampir satu jam menunggu, Debra dan teman-teman akhirnya melihat prima keluar dengan wajah bahagia dan mengahambur dalam pelukan mereka. ”Saya lulus” bisiknya di sela-sela isaknya. Serempak susana menjadi gaduh oleh teriakan bahagia dan haru. Sahabatnya dapat merasakan napas Prima menjadi legah. Kini ia sudah bertitel sarjana hukum. Kabar gembira ini akan jadi buah tangan termanis untuk Mamanya. Ia akan segera pulang padanya untuk menumpahkan semua rindu dan rasa yang tertahan. Sudah waktunya nyekar ke makam Bapak.

***

Fransiska menangis di depan patung Maria yang sedang mengatupkan tangannya.

“terimakasih Tuhan, terima kasih Bunda Maria. Terima kasih ya Allah.”

Hari itu Fransiska ditelepon Prima. Kabar gembira itu akhirnya datang juga. Putranya telah telah lulus dan segera menjadi sarjana hukum setelah diwisuda pada Februari mendatang, dua bulan lagi. Dia akan segera kembali.  Sepanjang hari itu Fransiska tersenyum penuh makna. Dia bahagia juga bangga. Pada malamnya ia duduk di pinggir nisan Robert, Suaminya, menabur bunga dan membakar lilin. Bibirnya menyunggingkan senyum, hatinya bercerita, mengisahkan kisah suka cita yang dialaminya. Akan tiada lagi tangis dalam diam. “Februari saya sudah bisa diwisuda, Ma. Saya pulang setelah saya wisuda. Saya harap Mama bisa dampingi saya”. Kata-kata Prima itu bagai mood buster bagi Fransiska. Semangatnya yang hilang sejak tujuh tahun yang lalu kini kembali lagi.

***

Seminggu setelah ujian skripsi, Prima jatuh sakit. Sakit di dadanya benar-benar melumpuhkannya. Prima dilarikan ke rumah sakit setelah jatuh pingsan di kamarnya. Tubuhnya mengurus, dan wajahnya pucat. Setelah bangun dari pingsannya, prima berpesan agar kabar sakitnya tidak sampai ke telinga Mamanya. “Sebentar lagi sembuh, kok. Jangan bilang Mama supaya beliau tidak khawatir.” Semakin hari keadaannya tidak semakin baik. Tubuhnya melemah, Prima kesulitan untuk bicara, dan pernapasannya dibantu alat-alat medis. Kabar buruk mengejutkan datang dari hasil pemeriksaan medis. Prima terserang kanker paru-paru. Saat ini organ pernapasan itu hanya berfungsi empat persen dalam tubuh Prima.

***

Kabar menyakitkan itu membawa Fransiska bertelut dengan hati yang hancur di depan salib yang tergantung di dinding kamar Prima putranya. Ia menangis tersedu-sedu. Diraba dadanya, namun bagai tak terasa. Ia tidak sanggup membuat tanda salib di depan tubuhnya. Lidahnya kelu. Dunianya seakan terbalik. Satu penyakit itu merenggut dua cintanya. Ia merasa sakit ini begitu kejam. Nyanyian gembira natal masih membahana. waktu bahkan belum mengakhiri tahun ini, hujan pun belum berganti kering, semua sudah teringkari. Februari penuh janji bahagia itu belum sempat tergapai, sebuah peti jenasah telah dikirimkan untuk Fransiska, perempuan paruh baya yang kini sendirian.

sopan sumba

Info Kontak

Jika ada pertanyaan atau kritik silahkan hubungi kami