Catatan atas kunjungan Sigrid Arabella Purbaya dan Andre Middag,
Malam itu, udara di Sumba terasa lebih sejuk dari biasanya. Di Kambaniru, dalam sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi kehangatan dan semangat, kami relawan Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) Sumba berkumpul bersama untuk menyambut dua sahabat SOPAN, Sigrid Arabella Purbaya dan suaminya, Andre Middag, yang datang jauh-jauh dari Belanda.
Arabella adalah putri dari sahabatnya Martha Hebi, Brigitte Schneebeli, penerjemah karya-karya Pramoedya A. Toer dalam bahasa Jerman yang juga adalah relawan SOPAN. Selama ini, ibunya Arabella yang pernah mengunjungi Sumba, yaitu pada tahun 2006 dan 2009. Arabella sendiri mengenal Sumba hanya melalui cerita dari ibunya dan Martha Hebi. Persahabatan antara Martha Hebi dan ibunya Arabella telah terjalin sejak tahun 2002. "Kita makan malam bersama," kata Martha Hebi menjelaskan kepada relawan SOPAN lainnya tentang maksud dan tujuan kami berkumpul di rumahnya, di Kambaniru. "Selain makan malam bersama, kita akan berdiskusi."
Kedatangan Arabella Purbaya dan suaminya, Andre Middag bukan sekadar kunjungan biasa, tetapi perjalanan hati untuk lebih memahami kehidupan perempuan dan anak-anak di Sumba. Dalam perjumpaan tersebut, dilakukan diskusi membahas berbagai isu sosial yang dihadapi masyarakat Sumba, terutama yang berkaitan dengan perempuan dan anak-anak.
Diskusi malam itu dimulai dengan cerita Yustina Dama Dia, Direktur SOPAN, tentang perjalanan panjang SOPAN Sumba. Berdiri sejak tahun 2005, SOPAN lahir dari keprihatinan sekelompok peneliti setelah melakukan penelitian sosial di Sumba Timur. Awalnya berfokus pada isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, kini cakupannya semakin luas, termasuk hak penyandang disabilitas serta masyarakat penghayat Marapu. Isu-isu kekerasan berbasis gender, berbasis tradisi, misalnya kawin tangkap dan perbudakan tradisional. Isu lainnya stunting, serta dampak psikologis terhadap kesehatan ibu dan anak.
"SOPAN berupaya membongkar perspektif sosial yang menghambat akses pendidikan dan kesehatan bagi perempuan, yang selama ini dipengaruhi oleh sistem patriarki yang mengakar kuat di Sumba," kata Yustina Dama Dia menjelaskan. Arabella mendengarkan dengan penuh perhatian. Sesekali, ia menerjemahkan apa yang dikatakan Direktur SOPAN dalam Bahasa Belanda agar suaminya memahami apa yang sedang kami bicarakan.
Arabella dan suami baru saja menghabiskan beberapa hari menjelajahi Sumba, menyelami kehidupan masyarakatnya lebih dalam. Pada 3 Februari, ia dan Andre, suaminya, ditemani Martha Hebi pergi ke Kodi, mengunjungi Kampung Ratenggaro dan Pero, melihat langsung bagaimana orang Sumba menjalani kesehariannya. Perjalanan itu membawa mereka ke Laguna Weekuri, di mana mereka bertemu dengan Jole, seorang guru sekaligus relawan SOPAN yang mendampingi anak-anak berlatih Bahasa Inggris. Saat itu, anak-anak dengan antusias mencoba mempraktikkan keahlian mereka dengan Andre, membuat suasana kekeluargaan terjalin dengan erat.
Malam harinya, mereka menikmati makan malam di Oro Beach Resto, di mana mereka diperkenalkan dengan Siska Lali, pemilik Oro Beach Bungalow yang juga Koordinator Forum Perempuan Rahimku. Di bawah langit Sumba yang bertabur bintang, mereka berbincang tentang perjuangan perempuan dalam membangun kemandirian dan kesetaraan di tanah kelahirannya.
Hari berikutnya, 4 Februari, Arabella mengalami pertemuan yang menyentuh hatinya. Ia bertemu dengan seorang pria yang pernah mendapatkan dukungan dari ibunya, Brigitte Schneebeli, lebih dari satu dekade lalu. Dengan bantuan yang diberikan, pria itu bisa membangun tambal ban dan bengkel motor sederhana. Usaha yang awalnya kecil itu, kini telah berkembang, menopang kehidupan keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya. Mendengar cerita itu, Arabella merasakan bagaimana jejak kebaikan bisa bertahan dan berkembang dalam waktu yang panjang.
Siang harinya, mereka menuju Sumba Tengah untuk berdiskusi dengan Kelompok Penyintas Kawin Tangkap. Di ruangan yang dipenuhi dengan kisah-kisah luka dan keberanian, Arabella juga bercerita, "saya pernah mengalami kekerasan dalam kehidupan rumah tangga saya. Jadi, saya tahu betul merasakan sakit dan luka seperti yang mama-mama alami," katanya Arabella dalam sebuah sesi berbagi cerita.
Mata-mata di ruangan itu menatapnya penuh empati. "Jangan kira kalau di Eropa, ya di Belanda sudah tidak ada lagi kekerasan terhadap perempuan. Itu ada, pengalaman pribadi saya. Kita berbagi seperti ini untuk melegakan hati kita, memulihkan diri dan membangun kesadaran bersama bahwa perempuan di mana pun berada bisa menjadi korban baik dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan sosialnya karena dia perempuan."
Keesokan harinya di Kambaniru, pada 5 Februari malam, Arabella dan kami kembali berdiskusi. Kali ini jumlah kami banyak. Ada Opa Frans Wora Hebi, wartawan pertama di Sumba, yang turut hadir menemani kami berdiskusi. Mulai dari diskusi ringan, diskusi sosial budaya hingga diskusi yang cukup berat, bahkan kami mendiskusikan bersama terkait persoalan pelecehan seksual terhadap anak-anak dan pola asuh dalam keluarga.
Arabella, yang mendengar cerita itu dengan penuh perhatian, menghela napas. "Di Belanda, kami juga berjuang melawan ketidakadilan gender. Tapi saya sadar, perubahan bukan sekadar soal kebijakan, melainkan juga soal memahami bagaimana masyarakat berpikir," katanya.
Martha Hebi, salah satu pendiri SOPAN, lalu menambahkan perspektifnya. Ia menyoroti bagaimana mitos dan tradisi masih membentuk identitas perempuan di Sumba. "Di sini, perempuan sering dianggap ‘orang keluar’ dalam keluarga. Itu berdampak besar pada hak mereka, termasuk hak atas aset yang mereka bangun sendiri," ujarnya. Arabella mengangguk, mencoba membandingkan dengan situasi di negaranya.
Tak hanya soal hak kepemilikan, diskusi juga merambah ke isu lain yang lebih sensitif: pelecehan seksual terhadap anak. Kami berbagi cerita tentang kasus-kasus yang pernah SOPAN dampingi, tentang bagaimana anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan justru menjadi korban di lingkungan terdekatnya. Arabella lalu berbicara tentang bagaimana pola asuh di Belanda berbeda, bagaimana peran ayah dalam membesarkan anak mendapat perhatian lebih di sana. Perbandingan ini memicu diskusi hangat. Kami berdiskusi sambil menikmati makan malam bersama. Tentu, dalam diskusi ini kami juga menikmati makanan khas Belanda dan juga mendapatkan oleh-oleh magnet gantungan berbentuk bunga.
Arabella menanggapi sharing pengalaman kami sebagai relawan SOPAN yang sering mendapatkan trauma kedua yang dialami saat mendampingi korban. Arabella memiliki spesialisasi pemulihan psikis para korban dan penyintas kekerasan, pencegahan kekerasan psikis mengajak SOPAN bekerja sama. Menurutnya, dengan keahlian yang dimilikinya, dia dapat memperkuat kapasitas staf SOPAN, pemulihan dampak psikis yang mereka alami. "Saya ingin membantu SOPAN, memperkuat kapasitas relawan dalam mendampingi korban, dan juga membantu SOPAN dalam memulihkan dampak psikis yang relawan alami sendiri," katanya.
Yustina Dama Dia dan relawan SOPAN menyambut baik tawaran itu. Perjuangan ini memang tak bisa dilakukan sendiri. Arabella percaya, meski jarak antara Belanda dan Sumba jauh, teknologi bisa menjembatani komunikasi, pertukaran ide, serta koordinasi program.
Malam semakin larut, tetapi semangat dalam ruangan itu tetap menyala. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan untuk memahami, berbagi, dan bersama-sama membangun perubahan. Di tana Humba ini, solidaritas terus tumbuh, menyebar harapan bagi perempuan dan anak-anak Sumba.
Jika ada pertanyaan atau kritik silahkan hubungi kami