image

Komnas Perempuan Gandeng SOPAN Sumba Dorong Efektivitas UU TPKS di Sumba Tengah

Kampanye 16HAKTP ini diselenggarakan oleh Komnas Perempuan bekerjasama dengan SOPAN Sumba sebagai mitra sekaligus panitia lokal yang diadakan di Sumba Tengah

total view 55
2025-12-14 09:51

Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) Sumba bekerja sama dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyelenggarakan Dialog Publik Kampanye Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) selama tiga hari, pada 12–14 Desember 2025, bertempat di Hotel Bintang, Waibakul, Kabupaten Sumba Tengah.

Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 80 peserta yang berasal dari berbagai latar belakang, antara lain unsur pemerintah daerah, Dinas Sosial dan P3A, kepolisian dan kejaksaan, akademisi, satuan tugas kampus, tenaga kesehatan, organisasi masyarakat sipil, tokoh adat, tokoh agama, tokoh perempuan dan pemuda, insan pendidikan, pendamping korban, mahasiswa, hingga insan pers.

Sebagai mitra sekaligus panitia lokal, SOPAN Sumba berperan aktif dalam mempersiapkan dan mengoordinasikan seluruh rangkaian kegiatan, mulai dari mobilisasi peserta, pengaturan teknis acara, hingga memastikan ruang dialog yang aman, inklusif, dan partisipatif. Kegiatan ini menjadi ruang strategis untuk memperkuat pemahaman bersama mengenai UU TPKS sekaligus mengkritisi tantangan implementasinya di daerah, khususnya di wilayah kepulauan dengan keterbatasan akses layanan.

Pada hari pertama, dialog publik menghadirkan empat narasumber, yaitu Komisioner Komnas Perempuan, Sri Agustini, Wakil Ketua Komnas Perempuan Ratna Batara Munti, Kanit PPA Polres Sumba Barat Muhammad Raya Wahyudi, S.H., serta akademisi Universitas Kristen Wira Wacana Sumba, Umbu Pajaru Lombu.

Komisioner Komnas Perempuan, Sri Agustini menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Tingginya angka kekerasan berbasis gender menunjukkan masih kuatnya ketimpangan relasi kuasa dan diskriminasi gender di masyarakat. Oleh karena itu, negara dan masyarakat perlu bekerja bersama untuk memastikan pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban dilakukan secara komprehensif dan berkeadilan.

Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Perempuan Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak mencakup kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi. Ia menegaskan bahwa kekerasan bukan persoalan privat, melainkan pelanggaran hak asasi manusia. Peran masyarakat menjadi sangat penting, terutama dalam membangun kesadaran, keberanian melapor, serta dukungan terhadap korban.

Dari sisi penegakan hukum, Kanit PPA Polres Sumba Barat Muhammad Raya Wahyudi, S.H. menegaskan komitmen kepolisian untuk menangani setiap laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak secara profesional dan bertanggung jawab. Ia juga mengimbau masyarakat agar tidak ragu melaporkan kasus kekerasan yang terjadi, serta menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menciptakan lingkungan yang aman.

Sementara itu, akademisi Universitas Kristen Wira Wacana Sumba, Umbu Pajaru Lombu, menegaskan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak merupakan tindakan tidak manusiawi yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan. Ia menyampaikan bahwa kekerasan seksual adalah bentuk diskriminasi ekstrem yang menunjukkan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan pada pelakunya. Sebagai dosen hukum sekaligus advokat, ia menyatakan kesiapan untuk membangun komunikasi, membuka ruang diskusi, dan memberikan pendampingan hukum bagi masyarakat yang membutuhkan, khususnya dalam kasus kekerasan seksual.

Pada hari kedua, materi difokuskan pada pendalaman UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan Sri Agustini. Ia menjelaskan bahwa UU TPKS memiliki dua aspek utama, yaitu aspek materil yang mengatur unsur delik dan jenis tindak pidana kekerasan seksual, serta aspek formil yang berkaitan dengan mekanisme pembuktian dan proses hukum.

Salah satu tantangan utama dalam implementasi UU TPKS adalah masih maraknya praktik penyelesaian kasus kekerasan seksual di luar proses peradilan, seperti melalui mekanisme perdamaian atau penyelesaian adat. Praktik ini sering kali menghambat pemenuhan hak-hak korban, terutama hak atas pemulihan dan keadilan. Dalam banyak kasus, meskipun perkara telah sampai pada tahap penyelidikan, proses hukum dihentikan karena adanya kesepakatan damai, termasuk pemberian uang atau janji penyelesaian adat yang tidak selalu dipenuhi oleh pelaku.

Sri Agustini menegaskan bahwa penyelesaian di luar peradilan tidak menghapus unsur pidana dalam tindak kekerasan seksual. Korban tetap memiliki hak untuk melaporkan kembali kasusnya kepada aparat penegak hukum apabila kesepakatan tersebut tidak dijalankan.

Materi kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pasal-pasal penting dalam UU TPKS, termasuk Pasal 1 tentang definisi dan ruang lingkup kekerasan seksual, Pasal 5 tentang pelecehan seksual nonfisik, serta Pasal 6A, 6B, dan 6C yang mengatur pelecehan seksual fisik, relasi kuasa, dan pemanfaatan kerentanan korban. Sesi ini diakhiri dengan diskusi interaktif yang membuka ruang berbagi pengalaman lapangan dan strategi penanganan kasus yang lebih berpihak pada korban, khususnya di konteks lokal Sumba.

Pada hari ketiga, Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) di Kabupaten Sumba Tengah difokuskan pada penguatan pemahaman peserta mengenai hak-hak korban kekerasan seksual serta pentingnya layanan terpadu yang berpihak pada korban. Materi ini menjadi penutup rangkaian kegiatan sekaligus ruang refleksi atas praktik penanganan korban di lapangan.

Pada sesi pertama, dibahas secara mendalam mengenai hak atas perlindungan korban sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dijelaskan bahwa korban kekerasan seksual memiliki hak yang harus dipenuhi sejak awal proses, mulai dari tahap pelaporan, penyidikan, persidangan, hingga pemulihan pascakejadian. Hak tersebut meliputi hak atas rasa aman, kerahasiaan identitas, pendampingan hukum dan psikologis, perlindungan dari ancaman atau intimidasi, serta hak untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai proses hukum yang dijalani.

Materi ini menekankan bahwa perlindungan korban bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi juga menjadi kewajiban negara dan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat. Perlindungan harus dilakukan secara menyeluruh agar korban tidak mengalami reviktimisasi, baik dalam proses hukum maupun dalam lingkungan sosialnya. Korban juga berhak menolak praktik-praktik yang merugikan, seperti tekanan untuk berdamai atau penyelesaian kasus di luar peradilan yang mengabaikan keadilan dan pemulihan korban.

Sesi kedua dilanjutkan dengan pembahasan mengenai layanan terpadu bagi korban kekerasan seksual. 

Layanan terpadu dipahami sebagai sistem penanganan korban yang melibatkan berbagai sektor secara terkoordinasi, seperti layanan kesehatan, layanan psikologis, layanan hukum, layanan sosial, serta dukungan dari lembaga pengada layanan berbasis masyarakat. Tujuan utama layanan terpadu adalah memastikan korban mendapatkan penanganan yang cepat, aman, berkelanjutan, dan berperspektif korban.

Dalam materi ini dijelaskan bahwa layanan terpadu idealnya mencakup pelayanan medis dan visum, pendampingan psikologis untuk pemulihan trauma, bantuan hukum selama proses peradilan, layanan sosial termasuk tempat aman (rumah aman), serta dukungan reintegrasi sosial bagi korban. Koordinasi antarinstansi menjadi kunci agar korban tidak harus berpindah-pindah layanan tanpa kejelasan dan tidak mengalami beban tambahan akibat sistem yang tidak terintegrasi.

Peserta juga diajak untuk merefleksikan tantangan layanan terpadu di daerah, khususnya di wilayah kepulauan seperti Sumba Tengah, yang masih menghadapi keterbatasan akses, sumber daya manusia, serta fasilitas pendukung. Oleh karena itu, penguatan jejaring layanan berbasis komunitas, peningkatan kapasitas pendamping korban, serta komitmen pemerintah daerah dalam mendukung kebijakan dan anggaran menjadi sangat penting.

Melalui materi hari ketiga ini, peserta diharapkan memiliki pemahaman yang lebih utuh bahwa penanganan kekerasan seksual tidak berhenti pada proses hukum semata, tetapi harus menjamin pemenuhan hak korban secara menyeluruh, mulai dari perlindungan hingga pemulihan. Penguatan layanan terpadu yang kolaboratif dan berperspektif korban menjadi langkah strategis untuk mendorong implementasi UU TPKS yang efektif dan berkeadilan di Kabupaten Sumba Tengah.

Direktur SOPAN Sumba, Yustina Dama, menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Komnas Perempuan yang telah mempercayakan SOPAN Sumba sebagai mitra dan fasilitator lokal dalam penyelenggaraan Kampanye 16 HAKTP di Kabupaten Sumba Tengah. Ia menegaskan bahwa kehadiran Komnas Perempuan di daerah menjadi vitamin dan penguat bagi masyarakat, sekaligus bukti bahwa pemerintah pusat memberikan perhatian serius terhadap fenomena kekerasan seksual yang terjadi di daerah. Melalui kegiatan ini, berbagai tantangan, hambatan, peluang, serta langkah-langkah konkret dalam perlindungan, penanganan, dan pemulihan korban dapat disuarakan dan dicarikan solusi bersama.

SOPAN Sumba juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh elemen masyarakat lintas sektor yang telah terlibat aktif selama tiga hari kegiatan, mulai dari pemerintah daerah, akademisi, tenaga kesehatan, media, tokoh adat, tokoh agama, tokoh perempuan, orang muda, hingga masyarakat sipil. Yustina Dama menegaskan bahwa upaya memerangi segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan membutuhkan kerja kolaboratif dengan visi dan misi yang sama.

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Hukum Universitas Kristen Wira Wacana Sumba, Umbu Pajaru Lombu, menyampaikan terima kasih kepada Komnas Perempuan dan SOPAN Sumba atas pelibatan dirinya sebagai narasumber. Ia menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan tantangan bersama yang harus dihadapi secara kolektif.

Melalui rangkaian kegiatan Kampanye 16 HAKTP ini, SOPAN Sumba berharap terbangun komitmen nyata lintas sektor untuk mendorong efektivitas penerapan UU TPKS serta pemenuhan hak-hak korban, mulai dari perlindungan, pemulihan, hingga keadilan. Kampanye ini diharapkan tidak hanya menjadi agenda tahunan, tetapi juga momentum refleksi dan aksi bersama untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya di Kabupaten Sumba Tengah dan wilayah sekitarnya.

sopan sumba

Info Kontak

Jika ada pertanyaan atau kritik silahkan hubungi kami