image

Tangan-tangan yang Bangkit

Ini adalah cerita pengalaman Tim SOPAN saat mendampingi, mengadvokasi dan mengorganisir penyintas Kawin Tangkap, yang diceritakan kembali dalam bentuk cerita yang bercerita.

total view 28
2025-06-27 09:58

Ini adalah tangan-tangan perempuan tangguh, para penyintas kekerasan gender berbasis budaya, yang kemudian menjadi motor perjuangan membela sesama mereka. Mereka berasal dari Sumba Tengah, sebuah kota yang kaya akan budaya. Orang-orang hanya akan tahu, bahwa Sumba Tengah adalah sebuah kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan ibu kotanya Waibakul, yang pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat pada 22 Mei 2007 lalu. Namun, ada satu cerita yang luput dari pengamatan kita. Sumba Tengah adalah bagian dari budaya patriarki yang melihat perempuan sebagai objek, terlebih dalam praktik budaya perkawinan.

Cerita ini tidak datang sendiri. Ia berdiri di atas tangan-tangan para penyintas yang kami organisir. Tangan-tangan ini terbentuk di atas tangisan dan luka masa lalu yang masih membekas di ingatan. Tangan-tangan ini adalah bekas cengkraman para pelaku kawin tangkap di masa lalu, yang berusaha, berjuang, melawan segala bentuk penindasan. 

Ini adalah tangan-tangan para penyintas yang ingin bercerita. Mereka adalah korban praktik kawin tangkap yang terjadi pada tahun 1980-an hingga 2000-an. Kawin tangkap merupakan perkawinan yang dilakukan dengan menangkap perempuan yang akan dikawinkan secara dadakan dan hal tersebut dilakukan tanpa diketahui baik dari pihak perempuan itu sendiri maupun dari pihak keluarga perempuan. Mereka menyimpan luka dengan begitu rapi, hingga tak seorangpun yang tahu. Sebab mereka tidak mempunyai ruang untuk bercerita.

Adalah mama Veronica, yang bercerita tentang betapa sakitnya ia di masa itu. "Saya adalah korban kawin tangkap tahun 1984," kata mama Veronica. Ia bercerita, saat ia masih berusia 16 tahun, ia adalah korban kawin tangkap. Ketika ditangkap kala itu, ia berusaha melakukan berbagai cara untuk membebaskan diri, bahkan lari ke polisi dan kembali ke keluarga. Namun, nasib berkata lain. Tidak seorang pun yang menolong, bahkan orang terdekat sekalipun.

Ia bercerita sambil berlinang air mata. Mama-mama penyintas lainnya mendengar dengan penuh rasa iba. Ada banyak luka yang ia alami, tetapi ia tidak bisa menceritakan semuanya kepada siapapun. "Saya merasa percuma, karena bagi orang-orang di sekitar, saya adalah korban biasa."

Tahun 2024 lalu, SOPAN menginisiasi pembentukan organisasi (pengorganisasian) penyintas sebagai ruang bersama untuk sharing penyembuhan luka, penguatan dan mengumpulkan kekuatan atau energi untuk melakukan perlawanan terhadap kekerasan berbasis gender, terlebih kawin tangkap. Dalam gerakan perjuangan inilah, telah menghasilkan kesepakatan dan komitmen bersama yang tertuang dalam dokumen kesepakatan menolak praktik kawin tangkap.

"Setelah ada SOPAN dan berjumpa dengan kawan-kawan penyintas, saya semakin dikuatkan dan memilki ruang pertama kali untuk berbagi." Ia terlihat sumringah. Hatinya senang. Akhirnya, ia menemukan ruang untuk berbagi. Kepada para penyintas lainnya, ceritanya didengarkan dengan penuh rasa iba. Sebab, mereka senasib sepenanggungan. Mereka adalah korban dari budaya patriarki. Budaya yang membelenggu perempuan.

Di kelompok ini, para penyintas ini berkumpul, untuk mendengarkan cerita langsung para penyintas lainnya. Berbagi cerita, luka dan air mata, karena derita mereka diabaikan sekian tahun. Dalam kelompok ini, mereka menyembuhkan luka bersama lewat sharing pembelajaran. "Saya berharap, anak cucu saya tidak ada lagi yang menjadi korban kekerasan di masa mendatang," katanya penuh harap.

Waingapu, 27 Juni 2025. Ditulis saat mengikuti sesi Pelatihan Komunikasi, Pengembangan Proyek dan Logframe oleh YKPAI-MCC di Casa Candara, Waingapu, Sumba Timur.

sopan sumba

Info Kontak

Jika ada pertanyaan atau kritik silahkan hubungi kami